Npm : 30207684
Kelas : 3 DD 03
Tugas ke-3
subjeck hukum dalam K U H Perdata
- Pengertian
sedang kan , Subjeck hukum internasional adalah, semua pihak atau entitas yang dapat dibebani oleh hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional.
Subjeck hukum ter bagi 2:
- Orang/manusia->natulikjt persoon
- badan-badan hukum-> Recht persoon
- Contoh
Perbuatan subyek hukum yang bukan perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang akibat hukumnya tidak dikehendaki pelaku. Contoh :
1. Zaakwaarneming (perwakilan sukarela) yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walapun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu. Misalnya pada pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas”.
2. Onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), misalnya pada pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau pasal 1401 Burgerlijk Wetboek, yang menetapkan :
“Elke onrechtmatigedaad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt dengene door wiens shuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden”.
Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sumber : HUkum by elkace DIarsipkan di bawah: SBB
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2002
TENTANG
HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM
MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
-
bahwa Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang ditetapkan sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 menentukan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal asing dalam melaksanakan Lintas Damai diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah;
-
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan Indonesia;
Mengingat :
-
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
-
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2002
TENTANG
HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM
MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA
UMUM
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang ditetapkan sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, sesuai dengan ketentuan Konvensi tersebut mengandung ketentuan bahwa kedaulatan Republik Indonesia mencakup selain wilayah daratan dan pedalaman juga Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia. Sekalipun Indonesia mempunyai kedaulatan atas laut teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia tersebut, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, juga mengandung ketentuan bahwa kapal asing menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia tersebut, untuk keperluan melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman atau untuk keperluan berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Walaupun kapal asing menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, Indonesia dapat menetapkan alur laut yang dapat digunakan oleh kapal asing tersebut untuk melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia tersebut dengan aman, terus-menerus, dan cepat.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang ditetapkan sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, mengandung ketentuan pokok mengenai hak lintas damai sebagaimana terdapat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, dengan menetapkan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan hak lintas damai tersebut dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
Berhubung dengan itu dan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah yang mengatur hak dan kewajiban kapal asing melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial dan Perairan Kepulauan Indonesia.
Peraturan Pemerintah ini mengandung ketentuan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan lintas damai yang termuat dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan ketentuan-ketentuan mengenai lintas damai yang terdapat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 yang belum termuat dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Pengawasan yang perlu dilakukan agar kapal asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan melintasi Perairan Indonesia menaati ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-undang. Pengawasan tersebut dewasa ini dilakukan antara lain berdasarkan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939 (Stb. 1939 Nomor 442 ) dan peraturan pelaksanaannya yaitu Verordening Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1935 (Stb. 1935 Nomor 525) dan Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 39 Tahun 1939 tentang Petunjuk untuk Digunakan pada Penyidikan Tindak Pidana di Laut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 11 Undang-undang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alur laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional" adalah alur-alur laut yang tercantum dalam buku-buku kepanduan bahari dan peta-peta navigasi.
Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang di bidang keselamatan pelayaran" adalah instansi- instansi yang berwenang di bidang navigasi, perambuan, dan di bidang hidrografi.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "alur laut yang sesuai dengan asal dan tujuan pelayarannya" adalah alur laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional yang sesuai dengan asal dan tujuan pelayaran kapal asing yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alur laut yang merupakan alur laut yang sesuai dengan asal dan tujuannya" adalah alur laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional yang sesuai dengan asal dan tujuan pelayarannya untuk menuju pelabuhan atau sebaliknya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "batas alur pelayaran yang wajar" adalah batas yang wajar dalam penggunaan alur pelayaran yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional sesuai dengan kepentingan navigasi.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Peralatan dan perlengkapan militer sebagaimana dimaksud dalam huruf f adalah military device sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf f Konvensi. Ketentuan dalam Pasal ini merupakan penerapan Pasal 19 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f Konvensi.
Pasal 5
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 19 ayat (2) huruf g , huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k Konvensi.
Yang dimaksud dengan "sistem komunikasi" adalah sistem komunikasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur telekomunikasi.
Yang dimaksud dengan "fasilitas atau instalasi komunikasi" adalah alat atau perangkat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur telekomunikasi.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 21 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d Konvensi.
Pasal 6
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara.
Pasal 7
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 21 ayat (1) huruf e Konvensi.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar kapal ikan asing tersebut tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar kapal riset kelautan atau survey hidrografi tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah ini.
Yang dimaksud dengan "riset kelautan" adalah penelitian untuk memperoleh informasi atau data mengenai struktur atau komposisi kimia, biologi, dan fisika permukaan, ruang air, atau dasar laut dan tanah di bawahnya.
Ayat (2)
Lihat penjelasan ayat (1).
Pasal 9
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pelayaran di laut.
Pasal 10
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 26 ayat (2) Konvensi.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 28 ayat (2) Konvensi.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang.
Yang dimaksud dengan "survey hidrografi" adalah survey untuk memperoleh informasi atau data mengenai struktur dan sifat-sifat fisik perairan untuk kepentingan navigasi.
Ayat (2)
Lihat penjelasan ayat (1).
Yang dimaksud dengan "riset kelautan" adalah penelitian untuk memperoleh informasi atau data mengenai struktur atau komposisi kimia, biologi, dan fisika permukaan, ruang air, atau dasar laut dan tanah di bawahnya.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 22 ayat (4) Konvensi.
Pasal 12
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 21 ayat (4) Konvensi.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "alur laut untuk digunakan sebagai bagian skema pemisah lalu lintas" adalah alur laut seperti di Selat Phillips untuk meningkatkan keselamatan pelayaran dalam pelaksanaan lintas transit dari Selat Singapura ke Selat Malaka.
Ayat (2)
Alur laut untuk digunakan sebagai bagian skema pemisah lalu lintas tersebut terletak dalam Selat Phillips, tidak terletak dalam laut teritorial yang merupakan bagian dari selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, akan tetapi merupakan bagian dari perairan kepulauan. Berhubung dengan itu pelayaran kapal asing dengan menggunakan alur laut untuk digunakan sebagai bagian skema pemisah lalu lintas tersebut dilakukan sesuai dengan hak lintas damai yang berlaku untuk kapal asing di Perairan Kepulauan Indonesia.
Pasal 14
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan Pasal 13 ayat (2) Undang-undang.
Ayat (3)
Lihat penjelasan ayat (2).
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4209
sumber :
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
- Hak-hak keperdataan subjeck hukum
Suatu hubungan hukum (rechtsrelatie) yaitu hubungan antara subjek hukum yang akibat nya diatur oleh hukum dapat menimbulkan hak atau meleyapkan hak.
Hak-hak menurut sifatnya dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu :
Hak Absolut/mutlak yaitu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak sesuatu dengan memperhatikan kepentingannya.
Hak Relatif/nisbi yaitu kekuasaan yang diberi hukum kepada subjek hukum tertentu untuk berbuat, tidak berbuat sesuatu kepada subjek hukum tertentu.
Hak-hak yang terdapat dalam lapangan hukum publik disebut Hak publik yaitu setiap hak subjek hukum dalam hubungannya dengan hukum publik. Demikian juga dalam lapangan hukum perdata timbul hak-hak perdata.
Hak-hak perdata menurut sifatnya terdiri dari :
Hak Perdata Absolut/Mutlak dan
Hak Perdata yang relatif/nisbi.
1. Hak Perdat Absolut,terdiri dari :
a. Hak kepribadian /hak diri pribadi,yaitu hak atas dirinya sendiri atau pribadi yang diberi hukum kepada seseorang.
Misalnya : - Hak atas nama atau kehormatan.
- Hak tentang kecakapan dan berwe- nang untuk bertindak dalam hukum.
b. Hak Kekeluargaaan, yaitu hak yang tibul akibat hubungan keluarga.
Misalnya : - hak suami istri
- hak alimentasi/nafkah.
- hak merital suami,dsb.
c. Hak kekayaan, yaitu hak-hak yang timbul dalam lapangan harta kekayaan (vermogens recht). Hak atas kekayaan yang absolut ini disebut hak-hak kebendaan (zakelijke rechten).
2. Hak Perdata Relatif,terdiri dari :
a. Hak kekeluargaan relatif,yaitu yang disebut dalam pasal 103 ddan 104 KUH.Perdata.
Misalnya :- suami istri harus saling setia dan saling membantu (psl. 103 KUH.Perdata).
- suami istri saling terikat dalam suatu perjanjian mendidik dan memelihara anak-anak mereka (psl.104 KUH.Perdata).
b. Hak kekayaan relatif,hak ini timbul dalam perikatan. Hak kekayaan relatif ini disebut dengan hak perorangan atau hak pribadi (persoonlijke recht).
6. Hak kebendaan (Zakelijke recht).
Hubungan hukum antara orang yang berhak dengan bendanya menimbulkan hak kebendaan.
Hak Kebendaan ialah kekuasaan absolut yang diberi hukum kepada subjek hukum untuk menguasai langsung suatu benda dimana atau ditangan siapa benda itu berada.
A. Sifat Hak Kebendaan.
1. Hak Absolut.
2. Droit de suit, yang berarti bahwa hak kebendaanya mengikuti bendanya dimana atau ditangan siapa benda itu berada.
3. dapat dipertahankan terhadap siapa saja
sumber